Jejak Keadilan: Mengurai Perbedaan Sistem Peradilan Pidana Indonesia dan Dunia
Sistem peradilan pidana adalah tulang punggung penegakan hukum dan keadilan dalam masyarakat. Ia adalah mekanisme yang dirancang untuk menyelidiki kejahatan, menuntut pelaku, mengadili mereka, dan menjatuhkan hukuman yang setimpal. Namun, di balik tujuan universalnya, sistem peradilan pidana di setiap negara memiliki wajah yang unik, dibentuk oleh sejarah, budaya, filosofi hukum, dan perkembangan politiknya masing-masing. Memahami perbedaan ini tidak hanya memperkaya wawasan kita tentang keragaman hukum, tetapi juga menyoroti kekuatan dan kelemahan yang melekat dalam setiap pendekatan.
Artikel ini akan mengurai secara detail perbandingan sistem peradilan pidana di Indonesia dengan model-model yang lazim di negara lain, khususnya yang menganut sistem hukum Common Law (Anglo-Amerika) dan Civil Law lainnya (Eropa Kontinental), dengan fokus pada aspek-aspek kunci mulai dari penyelidikan hingga pemasyarakatan.
I. Fondasi Historis dan Filosofis: Akar Perbedaan Sistem Hukum
Perbedaan mendasar dalam sistem peradilan pidana seringkali berakar pada tradisi hukum yang dianut suatu negara:
-
Sistem Hukum Sipil (Civil Law): Akar Indonesia dan Eropa Kontinental
Indonesia mewarisi sistem hukum sipil (atau Eropa Kontinental) dari Belanda, yang pada gilirannya banyak dipengaruhi oleh hukum Romawi dan Kode Napoleon. Ciri utama sistem ini adalah kodifikasi hukum yang komprehensif. Segala aspek hukum, mulai dari definisi kejahatan hingga prosedur penuntutan, diatur dalam undang-undang tertulis (kitab undang-undang).Dalam tradisi Civil Law, hakim cenderung berperan aktif dalam mencari kebenaran materiil (kebenaran sejati dari suatu peristiwa). Prosesnya sering digambarkan sebagai inkuisitorial (meskipun istilah ini kini lebih tepat merujuk pada sejarah, bukan praktik modern secara harfiah), di mana hakim memiliki peran investigasi dan interogasi yang lebih besar dibandingkan dengan sistem Common Law. Peran negara dan otoritas publik sangat sentral dalam menegakkan hukum. Putusan pengadilan sebelumnya (yurisprudensi) tidak mengikat secara mutlak, meskipun dapat menjadi referensi.
-
Sistem Hukum Umum (Common Law): Model Anglo-Amerika
Sistem Common Law, yang berkembang di Inggris dan kemudian menyebar ke Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan negara-negara Persemakmuran lainnya, memiliki karakteristik yang sangat berbeda. Hukumnya tidak semata-mata dikodifikasi; yurisprudensi atau preseden (keputusan pengadilan sebelumnya) memegang peranan vital dan mengikat hakim untuk kasus-kasus serupa di masa mendatang (stare decisis).Proses peradilan dalam Common Law bersifat adversarial, di mana dua pihak yang berlawanan (jaksa penuntut dan pembela) menyajikan argumen dan bukti mereka di hadapan hakim yang berperan sebagai "wasit" yang netral. Hakim memastikan prosedur dipatuhi, sementara juri (di banyak yurisdiksi) bertanggung jawab menentukan fakta dan putusan bersalah atau tidak bersalah. Peran individu dan hak-hak mereka terhadap negara sangat ditekankan.
II. Proses Penyelidikan dan Penuntutan: Gerbang Keadilan
Tahap awal sistem peradilan pidana adalah penyelidikan dan penuntutan, yang menunjukkan perbedaan signifikan:
-
Di Indonesia:
- Penyelidikan (Penyelidikan Awal): Dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI). Tujuannya adalah mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan.
- Penyidikan (Penyelidikan Lanjutan): Setelah peristiwa dianggap sebagai tindak pidana, POLRI melanjutkan ke tahap penyidikan untuk mengumpulkan bukti yang cukup guna membuat terang tindak pidana dan menemukan tersangkanya. Kejaksaan memiliki peran supervisi dalam penyidikan, seringkali dengan bolak-balik berkas perkara (P-19) jika ada kekurangan, hingga dinyatakan lengkap (P-21).
- Penuntutan: Sepenuhnya menjadi wewenang Kejaksaan Republik Indonesia. Jaksa penuntut umum (JPU) menyusun dakwaan dan mewakili negara di persidangan.
- Pra-peradilan: Indonesia memiliki lembaga pra-peradilan yang memungkinkan individu mengajukan keberatan terhadap tindakan aparat penegak hukum, seperti penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan, dan penyitaan. Ini merupakan mekanisme kontrol terhadap proses awal.
-
Di Sistem Common Law (Contoh: Amerika Serikat/Inggris):
- Penyelidikan/Penyidikan: Sebagian besar dilakukan oleh kepolisian. Namun, peran jaksa penuntut (misalnya, District Attorney di AS atau Crown Prosecution Service di Inggris) dapat dimulai lebih awal, memberikan panduan hukum kepada polisi.
- Penuntutan: Jaksa penuntut memiliki independensi yang sangat besar dalam memutuskan apakah akan mengajukan tuntutan. Di AS, mereka seringkali memiliki diskresi luas untuk menawarkan plea bargaining (tawar-menawar pengakuan bersalah) kepada terdakwa, di mana terdakwa mengaku bersalah atas tuduhan yang lebih ringan untuk menghindari persidangan dan kemungkinan hukuman yang lebih berat. Ini sangat jarang ditemukan dalam sistem Civil Law tradisional.
- Grand Jury (AS): Di beberapa yurisdiksi AS, sebelum dakwaan resmi, kasus kejahatan serius harus diajukan ke grand jury yang terdiri dari warga negara. Grand jury memutuskan apakah ada cukup bukti untuk mendakwa seseorang (indictment). Ini adalah mekanisme yang unik untuk sistem AS.
-
Di Sistem Civil Law Lain (Contoh: Jerman/Prancis):
- Penyelidikan: Meskipun polisi melakukan penyelidikan awal, jaksa penuntut umum (prosecutor) atau bahkan hakim investigasi (juge d’instruction di Prancis, meski perannya kini berkurang) seringkali memiliki peran yang lebih aktif dalam mengarahkan dan mengawasi proses pengumpulan bukti.
- Penuntutan: Sama seperti di Indonesia, jaksa penuntut memiliki peran sentral dalam mengajukan tuntutan. Namun, sistem ini cenderung kurang memiliki mekanisme plea bargaining formal yang luas seperti di AS. Fokusnya adalah pada penemuan kebenaran materiil melalui proses formal.
III. Proses Peradilan dan Adjudikasi: Panggung Keadilan
Tahap persidangan adalah inti dari perbedaan filosofis antara Civil Law dan Common Law:
-
Di Indonesia:
- Hakim sebagai Pencari Kebenaran: Hakim sangat aktif dalam persidangan. Mereka dapat mengajukan pertanyaan kepada saksi, ahli, dan terdakwa, serta meminta bukti tambahan. Tujuan utama adalah menemukan "kebenaran materiil" atau kebenaran sejati dari peristiwa yang dituduhkan.
- Dominasi Bukti Tertulis: Berkas perkara (dossier) yang disusun selama penyidikan memiliki bobot yang signifikan dalam persidangan. Hakim seringkali sudah memiliki gambaran awal kasus dari berkas tersebut.
- Sidang Kurang Adversarial: Meskipun ada jaksa dan penasihat hukum, proses interogasi tidak se-intensif pemeriksaan silang dalam Common Law. Argumen hukum lebih banyak berpusat pada interpretasi undang-undang.
- Tidak Ada Juri: Putusan bersalah atau tidak bersalah sepenuhnya di tangan majelis hakim profesional.
-
Di Sistem Common Law:
- Sifat Adversarial Murni: Persidangan adalah pertarungan antara dua pihak yang setara (jaksa dan pembela), masing-masing menyajikan kasus terbaik mereka. Hakim bertindak sebagai wasit, memastikan aturan main (prosedur hukum dan bukti) dipatuhi.
- Pentingnya Bukti Lisan dan Pemeriksaan Silang: Kesaksian lisan di pengadilan adalah kunci. Cross-examination (pemeriksaan silang) adalah teknik krusial di mana pengacara pihak lawan menanyai saksi untuk menguji kredibilitas dan kebenatan kesaksiannya.
- Peran Juri: Untuk kejahatan serius, terdakwa biasanya berhak atas persidangan dengan juri. Juri (terdiri dari warga negara biasa) adalah penentu fakta, yang memutuskan apakah terdakwa bersalah atau tidak bersalah berdasarkan bukti yang disajikan. Hakim kemudian menerapkan hukum dan menjatuhkan hukuman.
- Prinsip Preseden: Putusan yang dibuat di pengadilan tinggi menjadi preseden yang mengikat pengadilan yang lebih rendah dalam kasus-kasus serupa.
-
Di Sistem Civil Law Lain (Contoh: Prancis/Jepang):
- Hakim Aktif, tapi dengan Keseimbangan: Meskipun hakim tetap aktif dalam mencari kebenaran, ada kecenderungan modern untuk memberikan lebih banyak ruang bagi jaksa dan pengacara untuk menyajikan argumen mereka, mengadopsi elemen-elemen adversarial.
- Fokus pada "Dossier": Berkas perkara yang disusun oleh penyelidik dan jaksa tetap menjadi inti dari proses peradilan.
- Tidak Ada Juri Tradisional: Umumnya tidak ada juri seperti di Common Law, meskipun beberapa negara Eropa telah memperkenalkan bentuk pengadilan campuran di mana hakim profesional duduk bersama "hakim awam" (non-profesional) untuk memutuskan kasus.
IV. Peran Profesional Hukum: Arsitek Keadilan
Perbedaan sistem hukum juga membentuk peran para profesional hukum:
-
Hakim:
- Indonesia/Civil Law: Hakim adalah pencari kebenaran dan penegak hukum yang aktif. Kariernya seringkali dimulai langsung setelah lulus sekolah hukum dan melewati pendidikan khusus hakim.
- Common Law: Hakim lebih sebagai "wasit" yang memastikan proses berjalan adil. Mereka seringkali adalah mantan pengacara atau jaksa yang telah memiliki pengalaman praktik yang luas.
-
Jaksa Penuntut Umum:
- Indonesia/Civil Law: Jaksa adalah representasi negara dan pelayan kepentingan umum. Perannya seringkali dimulai dari awal penyelidikan hingga penuntutan.
- Common Law: Jaksa adalah salah satu pihak dalam pertarungan hukum, berhadapan langsung dengan pengacara pembela. Meskipun tetap memiliki tanggung jawab etis untuk mencari keadilan, mereka adalah "lawan" dalam persidangan.
-
Pengacara/Penasihat Hukum:
- Indonesia/Civil Law: Peran pengacara seringkali lebih sebagai pendamping dan pemberi nasihat hukum, meskipun perannya dalam membela hak-hak klien terus berkembang. Akses terhadap pengacara bisa jadi lebih terbatas pada tahap awal proses.
- Common Law: Pengacara, khususnya pembela, memegang peran yang sangat sentral dan aktif sejak awal penangkapan. Mereka adalah pejuang hak-hak klien, memastikan setiap hak prosedural dipenuhi, dan secara aktif menguji bukti yang disajikan oleh jaksa.
V. Penjatuhan Hukuman dan Sistem Pemasyarakatan
Filosofi di balik hukuman dan pelaksanaannya juga bervariasi:
-
Di Indonesia:
Filosofi hukuman di Indonesia umumnya bersifat retributif (pembalasan) dan deterensi (pencegahan), meskipun rehabilitasi juga menjadi tujuan. Pidana mati masih diberlakukan untuk kejahatan serius tertentu, seperti narkotika dan terorisme. Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) adalah tempat pelaksanaan pidana penjara. Tantangan utama adalah over-kapasitas dan masalah korupsi di dalam lapas. -
Perbandingan Global:
- Filosofi Hukuman: Negara-negara Common Law cenderung lebih menekankan deterensi, incapacitasi (mengeluarkan pelaku dari masyarakat), dan rehabilitasi, meskipun retribusi tetap ada. Banyak negara Eropa (Civil Law) lebih fokus pada rehabilitasi dan reintegrasi sosial, dengan alternatif hukuman yang lebih beragam seperti pelayanan masyarakat dan pengawasan elektronik.
- Pidana Mati: Pidana mati telah dihapuskan di sebagian besar negara Eropa, Kanada, Australia, dan banyak negara di Amerika Latin. Namun, masih berlaku di beberapa negara Common Law (sebagian negara bagian AS) dan beberapa negara Civil Law (seperti Tiongkok, Vietnam, meskipun dengan prosedur dan frekuensi yang berbeda).
- Sistem Pemasyarakatan: Masalah over-kapasitas dan kondisi lapas adalah masalah global. Namun, beberapa negara telah bereksperimen dengan model pemasyarakatan yang lebih humanis dan berorientasi rehabilitasi, termasuk program pendidikan, pelatihan keterampilan, dan transisi bertahap kembali ke masyarakat.
VI. Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Tantangan Universal
Meskipun terdapat perbedaan struktural, prinsip-prinsip universal seperti praduga tak bersalah (presumption of innocence), hak atas persidangan yang adil (fair trial), dan hak untuk didampingi penasihat hukum diakui secara luas. Namun, implementasinya seringkali menjadi tantangan:
- Di Indonesia: Tantangan meliputi penanganan pra-peradilan yang terkadang bermasalah (misalnya, penahanan yang terlalu lama atau tanpa dasar yang kuat), kasus-kasus korupsi di lingkungan peradilan, kapasitas aparat penegak hukum, dan kepercayaan publik yang fluktuatif. Keadilan restoratif (restorative justice) mulai diterapkan dalam beberapa kasus ringan untuk mengurangi beban peradilan dan memulihkan hubungan antar pihak.
- Tantangan Global: Hampir semua sistem peradilan pidana menghadapi tantangan serupa:
- Korupsi: Merupakan ancaman serius terhadap integritas peradilan di banyak negara.
- Kapasitas Berlebih di Penjara: Banyak negara bergulat dengan populasi penjara yang membludak.
- Lambatnya Proses Hukum: Penundaan persidangan dan penumpukan kasus adalah masalah umum.
- Adaptasi terhadap Kejahatan Baru: Kejahatan siber, kejahatan transnasional, dan terorisme menuntut adaptasi cepat dari sistem hukum.
- Keadilan Restoratif: Banyak negara sedang menjajaki atau mengadopsi pendekatan keadilan restoratif sebagai alternatif penegakan hukum pidana tradisional, yang berfokus pada perbaikan kerugian dan rekonsiliasi.
Kesimpulan
Perbandingan sistem peradilan pidana di Indonesia dengan negara lain menunjukkan keragaman yang kaya dalam pendekatan terhadap keadilan. Sistem Indonesia, yang berakar pada tradisi Civil Law, memiliki karakteristik uniknya sendiri, seperti penekanan pada kodifikasi, peran aktif hakim, dan kontrol Kejaksaan dalam penuntutan. Ini berbeda dengan sistem Common Law yang bersifat adversarial dengan peran juri dan preseden yang kuat, atau bahkan variasi Civil Law lain di Eropa yang terus berevolusi.
Tidak ada satu sistem pun yang sempurna atau superior secara mutlak. Setiap model memiliki kekuatan dalam konteks historis dan budayanya, serta kelemahan yang memerlukan reformasi berkelanjutan. Indonesia, seperti banyak negara lainnya, terus berupaya memperkuat integritas, efisiensi, dan akuntabilitas sistem peradilan pidananya, sambil tetap berpegang pada prinsip-prinsip hak asasi manusia universal. Mempelajari dan memahami perbedaan ini adalah langkah awal menuju perbaikan dan pencapaian keadilan yang lebih baik bagi seluruh warga negara.