Merajut Asa, Menjelajah Batas: Peran Vital Pemerintah dalam Menghapus Kekerasan terhadap Perempuan
Kekerasan terhadap perempuan adalah salah satu pelanggaran hak asasi manusia yang paling meluas dan merusak di seluruh dunia. Fenomena ini tidak hanya meninggalkan luka fisik dan psikologis yang mendalam bagi para korban, tetapi juga menghambat kemajuan sosial, ekonomi, dan politik suatu bangsa. Di balik setiap kasus kekerasan, terdapat kegagalan kolektif masyarakat untuk melindungi warganya yang paling rentan. Dalam konteks inilah, peran pemerintah menjadi krusial dan tak tergantikan. Pemerintah, dengan mandatnya yang unik, sumber daya yang dimilikinya, dan kapasitasnya untuk menciptakan perubahan sistemik, adalah arsitek utama dalam merancang dan mengimplementasikan strategi pencegahan yang komprehensif, responsif, dan berkelanjutan.
Pendahuluan: Sebuah Darurat Kemanusiaan yang Terabaikan
Kekerasan terhadap perempuan (KtP) mencakup berbagai bentuk, mulai dari kekerasan fisik, seksual, psikologis, hingga ekonomi, yang terjadi baik di ranah domestik maupun publik. Data global menunjukkan bahwa sekitar 1 dari 3 perempuan di seluruh dunia pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual, sebagian besar dilakukan oleh pasangan intim. Angka-angka ini bukan sekadar statistik; mereka merepresentasikan jutaan nyawa yang terdampak, impian yang hancur, dan potensi yang tidak terpenuhi. KtP bukan hanya masalah individu atau keluarga, melainkan masalah struktural yang berakar pada ketidaksetaraan gender dan norma sosial patriarki. Oleh karena itu, penanganannya memerlukan pendekatan sistematis yang melibatkan semua elemen negara, dengan pemerintah sebagai motor penggeraknya.
Mengapa peran pemerintah begitu krusial? Karena hanya pemerintah yang memiliki legitimasi untuk membuat dan menegakkan hukum, mengalokasikan anggaran dalam skala besar, membangun infrastruktur layanan, serta memimpin upaya perubahan budaya di tingkat nasional. Tanpa komitmen dan aksi nyata dari pemerintah, upaya pencegahan dan penanggulangan KtP akan tetap bersifat sporadis, terfragmentasi, dan tidak mampu menjangkau akar masalah secara efektif.
Pilar-Pilar Utama Peran Pemerintah dalam Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan
Peran pemerintah dalam pencegahan kekerasan terhadap perempuan dapat diuraikan menjadi beberapa pilar utama yang saling terkait dan mendukung:
1. Pembentukan dan Penegakan Kerangka Hukum yang Kuat dan Responsif Gender
Langkah pertama dan paling fundamental bagi pemerintah adalah menciptakan landasan hukum yang kokoh. Ini mencakup:
- Legalisasi dan Kriminalisasi: Mengesahkan undang-undang yang secara eksplisit mengkriminalisasi berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan seksual (perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual), perdagangan manusia, mutilasi genital perempuan, dan perkawinan anak. Undang-undang ini harus mencakup definisi yang jelas, hukuman yang setimpal, dan mekanisme perlindungan bagi korban. Contoh di Indonesia adalah UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT dan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
- Harmonisasi Hukum: Memastikan bahwa semua peraturan perundang-undangan, termasuk KUHP, selaras dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan responsif gender, menghapus pasal-pasal diskriminatif, dan mengisi kekosongan hukum yang dapat menghambat penegakan keadilan bagi korban.
- Ratifikasi Konvensi Internasional: Meratifikasi dan mengimplementasikan konvensi internasional seperti Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dan instrumen hak asasi manusia lainnya yang memberikan panduan dan standar global dalam pencegahan dan penanggulangan kekerasan.
- Kebijakan Afirmatif dan Rencana Aksi Nasional: Mengembangkan kebijakan dan rencana aksi nasional yang terintegrasi, dengan target yang jelas, indikator kinerja, dan alokasi anggaran yang memadai, untuk mengatasi KtP secara holistik.
Namun, keberadaan hukum saja tidak cukup. Pemerintah harus memastikan bahwa hukum tersebut ditegakkan secara efektif dan adil.
2. Peningkatan Kapasitas dan Responsivitas Aparat Penegak Hukum
Aparat penegak hukum (APH) – polisi, jaksa, dan hakim – adalah garda terdepan dalam merespons kasus kekerasan. Peran pemerintah di sini meliputi:
- Pelatihan Khusus: Menyediakan pelatihan berkelanjutan bagi APH mengenai isu-isu gender, trauma korban, penanganan kasus kekerasan berbasis gender, dan pentingnya pendekatan yang berpusat pada korban (victim-centered approach). Ini termasuk penguasaan teknik investigasi yang sensitif, pengumpulan bukti, dan perlindungan saksi.
- Pembentukan Unit Khusus: Membentuk unit khusus perempuan dan anak (PPA) di kepolisian dan kejaksaan, dengan personel yang terlatih dan memiliki empati tinggi, untuk menangani kasus-kasus KtP.
- Prosedur Standar Operasi (SOP) yang Jelas: Mengembangkan SOP yang memastikan penanganan laporan yang cepat, efektif, dan bebas diskriminasi, serta mencegah reviktimisasi atau victim-blaming oleh APH.
- Akuntabilitas dan Pengawasan: Membangun mekanisme pengawasan internal dan eksternal untuk memastikan APH bertindak sesuai etika dan hukum, serta menindak tegas oknum yang melakukan diskriminasi atau penyalahgunaan wewenang.
3. Penyediaan Layanan Perlindungan dan Dukungan Komprehensif bagi Korban
Korban kekerasan memerlukan akses ke berbagai layanan yang terintegrasi untuk pemulihan dan keadilan. Pemerintah harus memimpin dalam penyediaan ini:
- Rumah Aman (Shelter): Membangun dan mengelola rumah aman yang memadai, aman, dan nyaman, dengan fasilitas yang sesuai untuk perempuan dan anak-anak korban kekerasan.
- Layanan Kesehatan: Memastikan akses korban ke layanan kesehatan yang responsif trauma, termasuk pemeriksaan medis, penanganan cedera, konseling pasca-kekerasan, dan pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan atau penyakit menular seksual.
- Bantuan Hukum: Menyediakan bantuan hukum gratis atau bersubsidi bagi korban untuk membantu mereka memahami hak-hak hukumnya, proses peradilan, dan mendapatkan keadilan.
- Layanan Psikologis dan Konseling: Mengembangkan program konseling dan dukungan psikososial untuk membantu korban mengatasi trauma, membangun kembali kepercayaan diri, dan mengintegrasikan diri kembali ke masyarakat.
- Hotline dan Pusat Krisis: Mendirikan saluran telepon darurat (hotline) dan pusat krisis yang beroperasi 24/7, dengan staf terlatih untuk memberikan informasi, konseling awal, dan rujukan layanan.
- Dukungan Ekonomi dan Reintegrasi Sosial: Memfasilitasi program pelatihan keterampilan, bantuan modal usaha, dan dukungan reintegrasi sosial untuk membantu korban menjadi mandiri secara ekonomi dan terhindar dari siklus kekerasan.
4. Pencegahan Primer Melalui Edukasi dan Perubahan Norma Sosial
Pencegahan yang paling efektif adalah yang berfokus pada akar masalah. Pemerintah memiliki peran besar dalam mengubah norma dan sikap yang permisif terhadap kekerasan:
- Pendidikan Gender sejak Dini: Mengintegrasikan pendidikan kesetaraan gender, hak asasi manusia, dan anti-kekerasan ke dalam kurikulum pendidikan formal di semua jenjang, mulai dari PAUD hingga perguruan tinggi.
- Kampanye Kesadaran Publik: Meluncurkan kampanye kesadaran publik yang masif dan berkelanjutan melalui berbagai media (TV, radio, media sosial, poster) untuk mendidik masyarakat tentang definisi kekerasan, dampaknya, hak-hak korban, dan pentingnya peran setiap individu dalam mencegahnya.
- Keterlibatan Laki-laki dan Anak Laki-laki: Mengembangkan program yang secara aktif melibatkan laki-laki dan anak laki-laki sebagai agen perubahan positif dalam mempromosikan kesetaraan gender dan menolak segala bentuk kekerasan.
- Pembongkaran Stereotip Gender: Melawan stereotip gender yang merugikan melalui kebijakan media, regulasi iklan, dan promosi representasi gender yang setara dan bermartabat.
- Kemitraan dengan Tokoh Agama dan Adat: Bekerja sama dengan tokoh agama dan adat untuk menyebarkan pesan anti-kekerasan dan kesetaraan gender sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya dan agama.
5. Pengumpulan Data, Riset, dan Pemantauan Berbasis Bukti
Kebijakan yang efektif harus didasarkan pada data yang akurat dan bukti ilmiah. Pemerintah harus:
- Sistem Pencatatan Data yang Terstandardisasi: Mengembangkan sistem pengumpulan data yang terstandardisasi tentang insiden kekerasan, jenis kekerasan, karakteristik korban dan pelaku, serta respons layanan yang diberikan. Data ini harus disajikan secara disaggregasi berdasarkan usia, lokasi, dan faktor relevan lainnya.
- Dukungan Riset: Mendanai riset dan studi tentang penyebab, pola, dampak, dan efektivitas intervensi pencegahan kekerasan untuk terus memperbaiki kebijakan dan program.
- Pemantauan dan Evaluasi: Secara berkala memantau dan mengevaluasi efektivitas kebijakan dan program yang ada, mengidentifikasi celah, dan melakukan penyesuaian yang diperlukan.
- Transparansi dan Akuntabilitas: Mempublikasikan data dan hasil evaluasi secara transparan kepada publik untuk mendorong akuntabilitas.
6. Kemitraan Strategis dan Alokasi Anggaran yang Berkelanjutan
Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Kemitraan adalah kunci:
- Kolaborasi dengan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS): Mendukung dan bekerja sama erat dengan OMS yang memiliki keahlian dan pengalaman dalam penanganan KtP. OMS seringkali menjadi garis depan dalam memberikan layanan langsung kepada korban.
- Keterlibatan Sektor Swasta: Mendorong sektor swasta untuk turut serta dalam upaya pencegahan, misalnya melalui kebijakan anti-diskriminasi di tempat kerja, program CSR yang mendukung perempuan korban kekerasan, atau kampanye kesadaran.
- Kerja Sama Internasional: Berkolaborasi dengan lembaga-lembaga internasional, negara-negara lain, dan donor untuk berbagi praktik terbaik, mendapatkan dukungan teknis, dan menggalang dana.
- Alokasi Anggaran yang Memadai: Mengalokasikan anggaran yang cukup dan berkelanjutan untuk semua program dan layanan pencegahan dan penanggulangan kekerasan. Ini bukan sekadar pengeluaran, melainkan investasi jangka panjang untuk pembangunan sumber daya manusia dan stabilitas sosial.
Tantangan dan Harapan Masa Depan
Perjalanan untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan masih panjang dan penuh tantangan. Norma budaya yang mengakar, stigma terhadap korban, impunitas pelaku, kurangnya sumber daya, dan terkadang minimnya kemauan politik, adalah beberapa rintangan besar. Namun, dengan semakin meningkatnya kesadaran global dan komitmen internasional, ada harapan yang kuat.
Pemerintah di seluruh dunia kini semakin menyadari bahwa investasi dalam pencegahan kekerasan terhadap perempuan bukanlah pilihan, melainkan keharusan mutlak untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama SDG 5 tentang Kesetaraan Gender. Dengan kepemimpinan yang kuat, kebijakan yang berani, dan kemitraan yang inklusif, pemerintah memiliki potensi untuk merajut asa baru bagi jutaan perempuan, menjelajah batas-batas ketidakadilan, dan membangun masyarakat yang lebih adil, aman, dan setara bagi semua.
Kesimpulan
Peran pemerintah dalam pencegahan kekerasan terhadap perempuan adalah multifaset, komprehensif, dan tidak dapat ditawar. Dari pembentukan kerangka hukum yang kokoh, penegakan hukum yang responsif, penyediaan layanan perlindungan yang komprehensif, hingga upaya pencegahan primer melalui edukasi dan perubahan norma sosial, setiap pilar ini adalah elemen vital. Kekerasan terhadap perempuan bukanlah takdir, melainkan masalah yang dapat dicegah dan diatasi. Dengan komitmen politik yang teguh, alokasi sumber daya yang memadai, dan kolaborasi yang erat dengan seluruh elemen masyarakat, pemerintah dapat menjadi agen perubahan paling efektif dalam membangun dunia di mana setiap perempuan dapat hidup bebas dari rasa takut dan kekerasan, merdeka untuk meraih potensi penuhnya. Ini adalah investasi terbaik bagi kemanusiaan dan masa depan yang lebih cerah bagi semua.